Berburu Buku Sampai Gunungkidul

Berburu Buku Sampai Gunungkidul

Ke mana pun pergi, toko buku selalu menarik minatku buat mampir. Ahad pagi (25/12/17), aku bersama tiga teman: Wahyu, Mizuar dan Ikhsan, melakukan perjalanan ke Gunungkidul. Agenda utama kami adalah berbagi cerita dan sedikit pengalaman tentang menulis kepada anak-anak di Perpustakaan Desa "Ngalang Membaca" (Kecamatan Gedangsari) dan toko buku Kutu Buku (Kecamatan Playen).


Beberapa rangkain cerita aku skip karena tema yang mau diangkat pada bagian tulisan ini adalah "Toko Buku". Pukul 11.00 kami tiba di Kutu Buku Playen, sebuah toko buku yang berlokasi di Barat Pasar Playen. Temanku, Wahyu memberikan koran Kedaulatan Rakyat hari Selasa kemarin untuk Anya, kelas 1 SDN Playen 3 yang puisinya dimuat di koran tersebut.

Kutu Buku ini ukurannya sekitar 2,5 x 5 meter. Toko buku yang berbentuk kios ini menyediakan buku-buku pelajaran, buku anak, novel, buku agama, buku umum, dan alat-alat tulis. Yang belum tersedia adalah buku-buku perguruan tinggi. Produk yang laris adalah Al Quran dan buku anak.

Aku merasa senang dan bangga ketika menemukan kenyataan ada toko buku di kecamatan kecil. Jarang-jarang lho ada toko buku di desa/kecamatan. Kalaupun ada yang dijual itu biasanya buku-buku yang tidak update (buku-buku yang lagi hits, novel-novel sastra, hampir tak pernah kelihatan wujudnya). Ciri khas toko buku/lapak buku di desa yaitu: Atlas, Kamus, RPAL, RPUL, Iqra, dan Buku Tuntunan Shalat.

Di kota-kota lain di berbagai daerah Indonesia juga banyak yang tidak memiliki "toko buku ideal". Jadi orang-orang yang hobi baca namun susah mengakses toko buku, biasanya mereka beli buku lewat online. Saat ini toko-toko buku, yang besar, yang lengkap, yang selalu update, baru ada di kota-kota besar seperti Jogja, Jakarta, Surabaya, dan lainnnya (kalau di kotamu ada toko buku yang besar, infokan ya, sebut juga nama tokonya).

Dua jam kami berada di Kutu Buku tak ada yang membeli buku kecuali rombongan kami saja. Toko buku itu sungguh sepi. Kami miris. Tapi kami bangga pada orang yang berani mendirikan toko buku di tempatnya. Aku pikir, Pak Joko (pemilik Kutu Buku) merupakan orang yang peduli dengan literasi. Dia tidak khawatir kalau usahanya tidak mendatangkan untung karena minat baca dan minat beli masyarakat masih rendah. 

Kutu Buku punya dua lokasi, satu di Playen, satunya lagi di Wonosari. Buka jam 8 pagi sampai 8 malam. Hampir semua bukunya dijual dengan diskon 10%. Hari itu, di Kutu Buku Playen aku lihat banyak buku-buku yang dimasukkan ke dalam kardus dengan keterangan "Retur". Ini menandakan bahwa penjualan buku di sini memang kurang laris. 

Mataku menyisiri buku dari rak ke rak, dari atas ke bawah, dari ujung kanan sampai ujung kiri. Siapa tahu menemukan buku-buku bagus yang kebetulan sedang kosong di toko-toko buku Jogja. Lumayan aku menemukan dua judul buku penting yang masih sangat diburu banyak pembaca. Wahyu juga membeli beberapa judul buku dengan nominal sekitar setengah juta. Dia membeli buku juga dengan niatan membantu agar Kutu Buku terlihat laris dan membuat pegawainya optimis kalau nanti akan ada pelanggan-pelanggan lain yang berdatangan. Wahyu menambah belanja papan catur.

Selepas dari Kutu Buku Playen, kami makan bakso di kedai Mas Ozil. Perjalan berlanjut ke Kutu Buku Wonosari, di pusat kotanya Gunungkidul. Lagi-lagi toko nampak sepi. Toko ini berada di Jalan Sumarwi, pinggir jalan Raya. Orang yang getol mencari buku-buku unik adalah aku dan Wahyu. Ikhsan dan Mizuar hanya melihat-lihat saja. Buku yang paling kami buru adalah buku langka karya Tere Liye dan Pramoedya Ananta Toer (ini adalah buku yang sedang langka dan diburu banyak orang). Wajar kami memburu buku itu, karena kami adalah penjual buku buku online yang tahu peta permintaan pelanggan. Hehe.

Wahyu membeli sejumlah buku sekitar 1,5 juta. Sedangkan aku cuma sekitar 500 ribu, itu pun uangnya pinjam dulu ke dia. Buku-buku judul-judul tadi tadi jika dibiarkan di toko mungkin bisa butuh waktu 6-12 bulan untuk habis. Namun jika buku itu berada di tangan kami, hanya butuh waktu 1-2 bulan untuk laku terjual (insyaAllah). 

Sore itu Kutu Buku Wonosari dijaga oleh dua karyawan perempuannya yang berjilbab. Satu masih kuliah semester akhir, satunya lagi baru lulus SMK. Peraturan toko, karyawan tidak boleh pegang HP saat jam kerja. Aku sempat bilang ke Umi, karyawan yang baru kerja lima bulan, "kalau aku jadi manajernya, aku akan suruh karyawannya buat mempromosikan bukunya di online juga. Misalnya satu jam sebelum pulang kerja, dia aktif upload buku-buku di medsos atau marketplace."

Karyawan senior yang belum kutanyakan namanya bilang, toko laris saat tahun ajaran baru. Lalu novel-novel laku karena sekolah di Wonosari ada hari literasi, di mana guru menugaskan siswanya untuk membaca buku dan menulis ringkasannya. Sekolah juga mewajibkan siswa yang lulus untuk memberikan sumbangan buku. Buku-buku perkuliahan juga tidak ada di toko ini. Nampaknya ini membuat mahasiswa-mahasiswa sini kalau cari buku referensi masih menjadikan Jogja sebagi kiblatnya.

Toko buku besar di Wonosari padahal cuma satu, tidak bersaing dengan yang lain, kok tetap saja masih sepi. Coba bandingkan dengan konter-konter HP, toko-toko fashion yang berderet-deret, nampak lebih laris kan? Dan untungnya juga lebih menjanjikan.

Toko buku perlu dukungan masyarakat dan pemerintah agar terus hidup. Sebab toko buku adalah sahabat bagi para pecinta ilmu, sahabat bagi orang yang ingin mendapatkan bahan-bahan belajar. Toko buku adalah salah satu pusat kebudayaan intelektual yang diharapkan membawa masyarakat menjadi maju dan berkembang. Toko buku sendiri juga harus selalu berinovasi agar dirinya tidak punah ditelan zaman milenial ini.
***

Kafe Basabasi, 25 Desember 2017

Komentar